Rabu, 13 Maret 2013

contoh kasus yang berkaitan dengan metode ilmiah

A. Pendahuluan
Gelar akademik dan ijazah diterima oleh seseorang sebagai tanda telah selesainya masa pendidikan tinggi formal dalam strata tertentu. Untuk memperoleh gelar dan ijazah menurut ketentuan dalam sistem pendidikan, seseorang harus terlebih mengikuti serangkaian kegiatan akademik dalam bentuk perkuliahan tatap muka, menyelesaikan tugas secara terstruktur baik secara individual maupun kelompok, melakukan kegiatan praktikum serta menyusun-mempertahankan dalam ujian dan dinyatakan lulus ujian skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
Pengejaran gelar akademik yang berorientasi legitimasi simbolik dengan kedok lembaga pendidikan, menurut hemat penulis sudah cukup lama beroperasi. Padahal dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 secara tegas dinyatakan bahwa mereka dapat dikenai sangsi 1 milyar dan atau penjara 10 tahun bagi perseorangan, organisasi atau penyelenggara yang memberikan ijazah dan gelar akademik tanpa hak (pasal 67) dan jika dilakukan suatu perguruan tinggi dinyatakan ditutup.
Sementara setiap orang yang membantu memberikan ijazah dan gelar akademik yang tidak memenuhi persyaratan dipidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal 5 ratus juta rupiah (pasal 68:1). Sedangkan orang yang menggunakan gelar dan ijazah yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak 5 ratus juta rupiah (pasal 68:2)

B. Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis, praktek jual beli gelar dan ijazah menunjukkan masih kuatnya dampak penjajahan dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Hal ini setidaknya berkaitan dengan status sosial yang akan dimiliki orang-orang yang bergelar tersebut, dan ekspektasi sosial yang diharapkan mereka akan diberikan oleh masyarakat. Orang yang memiliki gelar akademik atau lulusan perguruan tinggi biasanya secara langsung maupun tidak langsung akan menduduki “status sosial” tertentu di masyarakat.
Dalam kamus Bahasa Indonesia (Riwayadi, 2005), status diartikan sebagai tingkatan atau kedudukan orang dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya. Dalam Max Waber (1978) tipikal status didasarkan pada (1) gaya hidup, (2) pendidikan formal, (3) warisan turun-temurun atau prestize pekerjaan. Dalam pandangan sosiologis ini terlihat bahwa status di dalammnya inheren terdapat pengakuan atau keinginan untuk diakui oleh orang lain atau masyarakat sehingga bisa memperoleh privileges (hak istimewa). Bentuk-bentuk hak istimewa atau perlakuan khusus dan fasilitas kemudahan dalam akses sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Berdasar perspektif ini bisa dipahami, mengapa sebagian orang “silau” bahkan ambisius untuk memiliki gelar akademik, meski kadang-kadang tidak melalui jalur pendidikan sebagaimana resminya. Orang-orang yang silau dengan gelar ini mempunyai persepsi bahwa gelar akademik yang dimiliki secara illegal itu akan menjadi tiket bagi peningkatan status sosial atau kenaikan pangkat dan jabatan di tempat kerja.
Menghadapi fenomena ini, kita sebagai ilmuwan pendidikan harus mengembalikan fungsi pendidikan, bahwa gelar akademik harus diraih oleh seseorang secara legal dan prosedural. Demikian juga “status” harus diusahahakan atau diperoleh melalaui melalui upaya dan proses pendidikan formal secara prosedural. Maksud disini bahwa status dan gelar bukanlah sesuatu yang bersifat warisan atau karena faktor keturunan, bukan diperoleh melalui praktek jual beli dengan membayar sekian juta, dan seterusnya. Gelar yang diperoleh secara illegal ibarat topeng kepalsuan dan kebanggaan semu belaka, tanpa nalar, nilai, dan etika. Dimyati (2005) menyebutnya pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik
Masyarakat Indonesia dapat melakukan akulturasi sistem pendidikan, tanpa terjebak pada ketergantungan intelektual yang berdampak pengejaran gelar akademik beririentasi legitimasi simbolik. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan jalan mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan lembaga keilmuan secara rasional-prosedural. Rasional-prosedural perolehan sebuah gelar akademik, setidaknya dapat dilakukan melalui 4 alternatif:
Pertama, gelar akademik yang diperoleh seseorang , misalnya doktor Teknologi Pembelajaran, seseorang harus memperolehnya dengan cara mengikuti kuliah, praktikum, mengerjakan tugas-tugas terstruktur dan mandiri serta menulis disertasi serta mempertahankannya di dewan penguji.
Kedua, penyandang gelar tersebut dipandang memiliki kompetensi dan wawasam keilmuan dibidang teknologi pembelajaran yang dikenal dengan sebutan Ilmuwan pembelajaran. Dalam hal ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan meneliti dalam bidang pembelajaran, yakni mampu mengembangkan teori-teori dan konsep-konsep pembelajaran untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dalam rangka memecahkan masalah-masalah belajar.
Ketiga, penyandang gelar akademik tadi mempunyai hak dan kewajiban yang melekat, baik untuk peningkatan kualitas hidupnya maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian pada masyarakat.
Keempat, pada gelar akademik yang disandang oleh seorang sarjana terdapat nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung dengan Tuhan, sebagaimana tersurat dalam ikrar prasetya sarjana atau lebih dikenal dengan panca prasetya wisuda. Panca prasetya wisuda dimaksud adalah: Dengan Rakhmad Tuhan Yang Maha Esa kami para wisudawan secara sadar dan bertanggung jawab mengikrarkan panca prasetya (1) kami wisudawan adalah tenaga kependidikan yang taat dan setia sepenuhnya serta bersedia tetap membela negara dan bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) senantiasa menjujung tinggi profesi kependidikan, bersifat terbuka dalam mengembangkan dan mengamalkan ilomu pendidikan selaras dengan pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia ; (3) senantiasa mengembangkan usaha kependidikan secara demokratis bagi pembangunan manusia seutuhnya dengan memperhatikan potensi anak didik dengan penuh cinta kasih; (4) dalam melaksanakan tugas sanggup bekerja dengan jujur, disiplin, penuh tanggung jawab dan pengabdian, (5) senantiasa menujujung tinggi nama baik almamater. Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan meridhoi kami dalam upaya mengamalkan Panca Prasetya ini
Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa gelar yang dibeli dan ditebus dengan uang, adalah gelar yang tidak diperoleh secara etik keilmuan sekaligus tidak memililiki makna. Yang ada di dalamnya hanyalah transaksi ekonomi antara penjual gelar dan pembelinya. Karena rasionalistas ekonomi yang dijadikan pertimbangan, maka lembaga pendidikan tinggi tak ubahnya sebagai pasar dengan menjadikan gelar dan ijazah sebagai komoditasnya
Pemikiran keilmuan telah direduksi menjadi sebuah rasionalitas instrumental, yakni sesuatu sarana, insstrumen, dan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan mengabaikan nilai-nilai dan makna serta tidak peduli dengan proses dan ketentuan-ketentuan akademik yang prosedural. Pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik, jelas melecehkan nilai-nilai kejujuran ilmu pengetahuan, pemikiran keilmuan, moral serta komitmen Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Mereka pengguna gelar akademik simbolik, menurut hemat penulis telah membohongi diri sendiri, juga riskan menyalahgunakan untuk menipu orang lain. Diakui atau tidak orang-orang yang menyandar gelar akademik dan memiliki ijazah dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak patut itu telah melakukan kebohongan publik dan penipuan terhadap masyarakat luas. Selama orang-orang seperti itu pamer dan bangga dengan gelar-gelar illegal dan ijazah palsu itu, maka selama itu pula mereka sedang berbohong dan menipu diri sendiri di tengah khlayah. Inilah yang oleh Bactiar (2005) disebut dengan tragedi gelar tanpa nalar dan ijazah tanpa kuliah.
C. Mengurangi Ketergantungan Intelektual
1. Mengembangkan pembelajaran pemikiran keilmuan
Menurut Dimyati (1996) salah satu ungsur ilmu pengetahuan adalah items, yakni ilmu pengetahuan yang berwujud berpikir rasional. Realisasi berpikir rasional tampak pada penggunaan kata, kalimat, alenea, rumus pemecahan masalah, ataupun symbol-simbol. Prasyarat untuk mewujudkan items tersebut adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memikir dan melakukan observasi (3M+O).
Ilmu pengetahuan adalah sistem berpikir tentang dunia empiris. Dengan demikian pendidikan keilmuan adalah pendidikan berpikir rasional tentang dunia empiris. Dari sisi taksonomi berpikir, maka pendidikan keilmuan berarti mendidik berpikir pada tingkat kognitif tertentu. Dengan taksonomi Bloom misalnya, didikan berpikir keilmuan terletak pada tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya.
Fakta pembelajaran saat ini menunjukkan rendahnya tingkat kecakapan berpikir tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak-anak Indonesia. Para pakar pendidikan mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dominan di sekolah-sekolah masih membelajarkan tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir evaluasi-kreatif yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar. Sebagian besar pendidik belum merancang pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sebenarnya para pendidik telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta maampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita lebih lebih mengedepankan pembelajaran yang konstekstual dengan lingkungan kehidupan sehari-hari anak. Akan tetapi sebaagian besar pendidik kita belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998, Kamdi, 2002). Kita masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, yang cenderung mematikan kreativitas anak.
Proses “pembelajaran” saat ini masih diimplementasikan sebagai proses menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran adalah proses menyampaikan, memberikan, memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif , menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar. Mari kita runtuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi “mitos” bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga kependidikan. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak . Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan oleh dosen dalam pembelajaran. Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan.
Menurut pandangan Slavin (1997)) dalam proses pembelajaran dosen tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya antara lain dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), dosen sebaiknya hanya memberi “tangga” yang dapat membantu mahasiswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Brooks, 1990, Slavin, 1997), antara lain (1) siswa perlu didorong secara individual menemukan dan mengubah informasi yang kompleks menjadi lebih sederhana, bermakna, agar menjadi miliknya sendiri, (2) siswa perlu selalu membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain, jika tidak cocok, ia harus berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan skematanya. Dengan demikian maka belajar harus bersifat konstruktif, artinya dapat digambarkan sebagai proses berpikir pada saat terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan sesuatu. Kegiatan tersebut bisa dalam bentuk eksplorasi, eksperimentasi, kreativitas, ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerja sama atau kolaboratif.
Perubahan paradigma pembelajaran di atas mempunyai implikasi yang sangat besar, karena akan menumbuhkan kebiasaan mental untuk dapat berpikir secara produktif. Indikasi-indikasi berpikir produktif ( Marzano dalam Kamdi, 2002) demikian antara lain: (1) self-regulated thinking and learning, yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting, sensitive terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan; (2) critical thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang ceermat, jelas, terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat pengetahuan,; dan (3) creative thinking and learning yang ditandai dengan semangat tinggi, berusaha sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara baru.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan ketiga indikator di atas adalah dengan mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas dan menggunakan contoh-contoh khusus dari kehidupan orang yang memiliki kompetensi unggul, misalnya kegigihan orang mempelajari perilaku air sehingga menjadi ahli konstruksi bangunan seperti Ir. Sutami yang merancang bendungan Karangkates.
2. Pengembangan belajar berpikir kritis dan kreatif
Sering kita mendengar ungkapan mengenai banyaknya mahasiswa yang ‘tidak berpikir’. Mereka pergi ke kampus tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan keterangan dosen, kemudian tidak mencoba memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh dosen mereka. Selanjutnya, diruang ujian, mereka mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang telah mereka hafalkan itu. Cara seperti ini, dalam pengertian yang khusus, bukanlah suatu keberhasilan, dan merupakan cara belajar yang tidak kita inginkan. Mengenai nilai dan ujian, harus diakui bahwa mahasiswa tersebut bisa menjawab pertanyaan.
Sayang sekali, dalam sistem pendidikan dewasa ini, ada mahasiswa yang gagal memahami perkuliahan, sebab mereka hanya sekedar menghafal tanpa mengerti apa yang mereka pelajari. Pada akhirnya, kedua jenis mahasiswa (mereka yang gagal memahami dan mereka yang menghafal) mampu menjawab ujian dengan baik. Sebagian dari mereka mungkin mendapat nilai yang tinggi dan dianggap mahasiswa yang sukses oleh masyarakat (Hassoubah, 2002). Meskipun belum ada hasil penelitian yang kongkret, bahwa seandainya para mahasiswa tersebut ditanya-setelah ujian selesai-apakah mereka masih ingat ilmu pengetahuan yang telah mereka pelajari, maka tidak heran kalau mereka sudah lupa apa yang telah mereka pelajari.
Para mahasiswa pasif akan menimbulkan masalah. Dengan pengertian lain, mahasiswa yang ‘tidak berpikir’ hanya akan memenuhi tempat yang semestinya dipersiapkan untuk menghasilkan para ilmuan yang akan memainkan peranan mereka sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi. Akibat yang paling buruk adalah tugas dan tanggung jawab pendidikan tidak tercapai, sementara para mahasiswa dapat tamat dan mendapatkan gelar.
Pada saat yang sama, seharusnya para mahasiswa mengevaluasi diri mereka dan berusaha. Mereka tidak boleh berdiam diri saja. Karena, para pemuda ini kelak akan menjadi orang dewasa, akan menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan permasalahan. Mahasiswa ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan permasalahan hidup. Tantangan dan permasalahan inilah yang akan dihadapi oleh ‘pemikir’(.Tthe Liang Gie, 2003)
Berpikir dalam pendidikan formal sebagian besar menekankan pada :(1) kemampuan menganalisis, (2) membelajarkan siswa bagaimana memahami pernyataan, (3) mengikuti dan menciptakan argumen logis, (4) mengiliminir jalur yang salah dan fokus pada jalur yang benar (Harris, 1998). Berpikir adalah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar. Dua jenis berpikir dapat dibedakan yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar