A. Pendahuluan
Gelar akademik dan ijazah
diterima oleh seseorang sebagai tanda telah selesainya masa pendidikan
tinggi formal dalam strata tertentu. Untuk memperoleh gelar dan ijazah
menurut ketentuan dalam sistem pendidikan, seseorang harus terlebih
mengikuti serangkaian kegiatan akademik dalam bentuk perkuliahan tatap
muka, menyelesaikan tugas secara terstruktur baik secara individual
maupun kelompok, melakukan kegiatan praktikum serta
menyusun-mempertahankan dalam ujian dan dinyatakan lulus ujian skripsi
(S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
Pengejaran gelar akademik
yang berorientasi legitimasi simbolik dengan kedok lembaga pendidikan,
menurut hemat penulis sudah cukup lama beroperasi. Padahal dalam
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 secara tegas dinyatakan bahwa mereka
dapat dikenai sangsi 1 milyar dan atau penjara 10 tahun bagi
perseorangan, organisasi atau penyelenggara yang memberikan ijazah dan
gelar akademik tanpa hak (pasal 67) dan jika dilakukan suatu perguruan
tinggi dinyatakan ditutup.
Sementara setiap orang yang membantu
memberikan ijazah dan gelar akademik yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal 5 ratus juta rupiah
(pasal 68:1). Sedangkan orang yang menggunakan gelar dan ijazah yang
diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak
5 ratus juta rupiah (pasal 68:2)
B. Tinjauan Sosiologis
Secara
sosiologis, praktek jual beli gelar dan ijazah menunjukkan masih
kuatnya dampak penjajahan dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Hal
ini setidaknya berkaitan dengan status sosial yang akan dimiliki
orang-orang yang bergelar tersebut, dan ekspektasi sosial yang
diharapkan mereka akan diberikan oleh masyarakat. Orang yang memiliki
gelar akademik atau lulusan perguruan tinggi biasanya secara langsung
maupun tidak langsung akan menduduki “status sosial” tertentu di
masyarakat.
Dalam kamus Bahasa Indonesia (Riwayadi, 2005), status
diartikan sebagai tingkatan atau kedudukan orang dalam hubungan dengan
masyarakat di sekelilingnya. Dalam Max Waber (1978) tipikal status
didasarkan pada (1) gaya hidup, (2) pendidikan formal, (3) warisan
turun-temurun atau
prestize pekerjaan. Dalam pandangan
sosiologis ini terlihat bahwa status di dalammnya inheren terdapat
pengakuan atau keinginan untuk diakui oleh orang lain atau masyarakat
sehingga bisa memperoleh
privileges (hak istimewa).
Bentuk-bentuk hak istimewa atau perlakuan khusus dan fasilitas kemudahan
dalam akses sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Berdasar
perspektif ini bisa dipahami, mengapa sebagian orang “silau” bahkan
ambisius untuk memiliki gelar akademik, meski kadang-kadang tidak
melalui jalur pendidikan sebagaimana resminya. Orang-orang yang silau
dengan gelar ini mempunyai persepsi bahwa gelar akademik yang dimiliki
secara illegal itu akan menjadi tiket bagi peningkatan status sosial
atau kenaikan pangkat dan jabatan di tempat kerja.
Menghadapi
fenomena ini, kita sebagai ilmuwan pendidikan harus mengembalikan fungsi
pendidikan, bahwa gelar akademik harus diraih oleh seseorang secara
legal dan prosedural. Demikian juga “status” harus diusahahakan atau
diperoleh melalaui melalui upaya dan proses pendidikan formal secara
prosedural. Maksud disini bahwa status dan gelar bukanlah sesuatu yang
bersifat warisan atau karena faktor keturunan, bukan diperoleh melalui
praktek jual beli dengan membayar sekian juta, dan seterusnya. Gelar
yang diperoleh secara illegal ibarat topeng kepalsuan dan kebanggaan
semu belaka, tanpa nalar, nilai, dan etika. Dimyati (2005) menyebutnya
pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik
Masyarakat
Indonesia dapat melakukan akulturasi sistem pendidikan, tanpa terjebak
pada ketergantungan intelektual yang berdampak pengejaran gelar akademik
beririentasi legitimasi simbolik. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan
jalan mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan lembaga keilmuan secara
rasional-prosedural. Rasional-prosedural perolehan sebuah gelar
akademik, setidaknya dapat dilakukan melalui 4 alternatif:
Pertama,
gelar akademik yang diperoleh seseorang , misalnya doktor Teknologi
Pembelajaran, seseorang harus memperolehnya dengan cara mengikuti
kuliah, praktikum, mengerjakan tugas-tugas terstruktur dan mandiri serta
menulis disertasi serta mempertahankannya di dewan penguji.
Kedua,
penyandang gelar tersebut dipandang memiliki kompetensi dan wawasam
keilmuan dibidang teknologi pembelajaran yang dikenal dengan sebutan
Ilmuwan pembelajaran. Dalam hal ini mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan dan meneliti dalam bidang pembelajaran, yakni mampu
mengembangkan teori-teori dan konsep-konsep pembelajaran untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran dalam rangka memecahkan
masalah-masalah belajar.
Ketiga,
penyandang gelar akademik tadi mempunyai hak dan kewajiban yang
melekat, baik untuk peningkatan kualitas hidupnya maupun bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian pada masyarakat.
Keempat,
pada gelar akademik yang disandang oleh seorang sarjana terdapat
nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung dengan Tuhan,
sebagaimana tersurat dalam ikrar prasetya sarjana atau lebih dikenal
dengan panca prasetya wisuda.
Panca prasetya wisuda dimaksud adalah:
Dengan
Rakhmad Tuhan Yang Maha Esa kami para wisudawan secara sadar dan
bertanggung jawab mengikrarkan panca prasetya (1) kami wisudawan adalah
tenaga kependidikan yang taat dan setia sepenuhnya serta bersedia tetap
membela negara dan bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945; (2) senantiasa menjujung tinggi profesi
kependidikan, bersifat terbuka dalam mengembangkan dan mengamalkan ilomu
pendidikan selaras dengan pembangunan bangsa dan negara Republik
Indonesia ; (3) senantiasa mengembangkan usaha kependidikan secara
demokratis bagi pembangunan manusia seutuhnya dengan memperhatikan
potensi anak didik dengan penuh cinta kasih; (4) dalam melaksanakan
tugas sanggup bekerja dengan jujur, disiplin, penuh tanggung jawab dan
pengabdian, (5) senantiasa menujujung tinggi nama baik almamater. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa berkenan meridhoi kami dalam upaya mengamalkan
Panca Prasetya ini
Berdasarkan paparan di atas, jelaslah
bahwa gelar yang dibeli dan ditebus dengan uang, adalah gelar yang tidak
diperoleh secara etik keilmuan sekaligus tidak memililiki makna. Yang
ada di dalamnya hanyalah transaksi ekonomi antara penjual gelar dan
pembelinya. Karena rasionalistas ekonomi yang dijadikan pertimbangan,
maka lembaga pendidikan tinggi tak ubahnya sebagai pasar dengan
menjadikan gelar dan ijazah sebagai komoditasnya
Pemikiran
keilmuan telah direduksi menjadi sebuah rasionalitas instrumental, yakni
sesuatu sarana, insstrumen, dan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan
secara efisien, dengan mengabaikan nilai-nilai dan makna serta tidak
peduli dengan proses dan ketentuan-ketentuan akademik yang prosedural.
Pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik, jelas
melecehkan nilai-nilai kejujuran ilmu pengetahuan, pemikiran keilmuan,
moral serta komitmen Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Mereka pengguna
gelar akademik simbolik, menurut hemat penulis telah membohongi diri
sendiri, juga riskan menyalahgunakan untuk menipu orang lain. Diakui
atau tidak orang-orang yang menyandar gelar akademik dan memiliki ijazah
dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak patut itu telah melakukan
kebohongan publik dan penipuan terhadap masyarakat luas. Selama
orang-orang seperti itu pamer dan bangga dengan gelar-gelar illegal dan
ijazah palsu itu, maka selama itu pula mereka sedang berbohong dan
menipu diri sendiri di tengah khlayah. Inilah yang oleh Bactiar (2005)
disebut dengan tragedi gelar tanpa nalar dan ijazah tanpa kuliah.
C. Mengurangi Ketergantungan Intelektual
1. Mengembangkan pembelajaran pemikiran keilmuan
Menurut Dimyati (1996) salah satu ungsur ilmu pengetahuan adalah
items,
yakni ilmu pengetahuan yang berwujud berpikir rasional. Realisasi
berpikir rasional tampak pada penggunaan kata, kalimat, alenea, rumus
pemecahan masalah, ataupun symbol-simbol. Prasyarat untuk mewujudkan
items tersebut adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memikir
dan melakukan observasi (3M+O).
Ilmu pengetahuan adalah sistem
berpikir tentang dunia empiris. Dengan demikian pendidikan keilmuan
adalah pendidikan berpikir rasional tentang dunia empiris. Dari sisi
taksonomi berpikir, maka pendidikan keilmuan berarti mendidik berpikir
pada tingkat kognitif tertentu. Dengan taksonomi Bloom misalnya, didikan
berpikir keilmuan terletak pada tingkat
analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya.
Fakta
pembelajaran saat ini menunjukkan rendahnya tingkat kecakapan berpikir
tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak-anak Indonesia. Para pakar
pendidikan mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dominan di
sekolah-sekolah masih membelajarkan tingkat rendah yakni mengetahui,
memahami, dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir
evaluasi-kreatif yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar.
Sebagian besar pendidik belum merancang pembelajaran yang mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sebenarnya para pendidik
telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas,
kritis, dan kreatif serta maampu memecahkan masalah yang berkaitan
dengan kehidupan mereka sehari-hari adalah penting. Kesadaran ini juga
telah mendasari pengembangan kurikulum kita lebih lebih mengedepankan
pembelajaran yang konstekstual dengan lingkungan kehidupan sehari-hari
anak. Akan tetapi sebaagian besar pendidik kita belum berbuat, belum
merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses
belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998, Kamdi, 2002). Kita masih
berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, yang cenderung mematikan
kreativitas anak.
Proses “pembelajaran” saat ini masih
diimplementasikan sebagai proses menjadikan anak tidak bisa, menjadi
bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan
menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab
secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian.
Pembelajaran adalah proses menyampaikan, memberikan,
memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam
tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif , menerima apa
saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun
sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai
manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak,
dibelenggu oleh guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya
diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk
berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan
sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk
belajar. Mari kita runtuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi
“mitos” bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi
kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga kependidikan.
Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa
belajar itu harus berbasis otak . Dengan kata lain revolusi belajar
dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama
ini kurang dipedulikan oleh dosen dalam pembelajaran. Pakar komunikasi
mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu
menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan.
Menurut pandangan
Slavin (1997)) dalam proses pembelajaran dosen tidak dapat hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya untuk
berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara
membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih
relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya antara lain dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide,
dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999),
dosen sebaiknya hanya memberi “tangga” yang dapat membantu mahasiswa
mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan
agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Brooks, 1990,
Slavin, 1997), antara lain (1) siswa perlu didorong secara individual
menemukan dan mengubah informasi yang kompleks menjadi lebih sederhana,
bermakna, agar menjadi miliknya sendiri, (2) siswa perlu selalu
membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain, jika tidak
cocok, ia harus berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan
skematanya. Dengan demikian maka belajar harus bersifat konstruktif
, artinya
dapat
digambarkan sebagai proses berpikir pada saat terjadinya penemuan
ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan sesuatu. Kegiatan tersebut bisa
dalam bentuk eksplorasi, eksperimentasi, kreativitas, ketekunan,
kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerja sama atau kolaboratif.
Perubahan
paradigma pembelajaran di atas mempunyai implikasi yang sangat besar,
karena akan menumbuhkan kebiasaan mental untuk dapat berpikir secara
produktif. Indikasi-indikasi berpikir produktif ( Marzano dalam Kamdi,
2002) demikian antara lain: (1)
self-regulated thinking and learning,
yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, tindakan
yang terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting, sensitive
terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan; (2)
critical thinking and learning,
yang dicirikan oleh tindakan yang ceermat, jelas, terbuka, bisa
mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat pengetahuan,; dan (3)
creative thinking and learning yang ditandai dengan semangat tinggi, berusaha sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara baru.
Upaya
yang dapat dilakukan untuk mewujudkan ketiga indikator di atas adalah
dengan mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas dan menggunakan
contoh-contoh khusus dari kehidupan orang yang memiliki kompetensi
unggul, misalnya kegigihan orang mempelajari perilaku air sehingga
menjadi ahli konstruksi bangunan seperti Ir. Sutami yang merancang
bendungan Karangkates.
2. Pengembangan belajar berpikir kritis dan kreatif
Sering
kita mendengar ungkapan mengenai banyaknya mahasiswa yang ‘tidak
berpikir’. Mereka pergi ke kampus tetapi cara belajar mereka terbatas
mendengarkan keterangan dosen, kemudian tidak mencoba memahami ilmu
pengetahuan yang diajarkan oleh dosen mereka. Selanjutnya, diruang
ujian, mereka mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang telah mereka
hafalkan itu. Cara seperti ini, dalam pengertian yang khusus, bukanlah
suatu keberhasilan, dan merupakan cara belajar yang tidak kita inginkan.
Mengenai nilai dan ujian, harus diakui bahwa mahasiswa tersebut bisa
menjawab pertanyaan.
Sayang sekali, dalam sistem pendidikan dewasa
ini, ada mahasiswa yang gagal memahami perkuliahan, sebab mereka hanya
sekedar menghafal tanpa mengerti apa yang mereka pelajari. Pada
akhirnya, kedua jenis mahasiswa (mereka yang gagal memahami dan mereka
yang menghafal) mampu menjawab ujian dengan baik. Sebagian dari mereka
mungkin mendapat nilai yang tinggi dan dianggap mahasiswa yang sukses
oleh masyarakat (Hassoubah, 2002). Meskipun belum ada hasil penelitian
yang kongkret, bahwa seandainya para mahasiswa tersebut ditanya-setelah
ujian selesai-apakah mereka masih ingat ilmu pengetahuan yang telah
mereka pelajari, maka tidak heran kalau mereka sudah lupa apa yang telah
mereka pelajari.
Para mahasiswa pasif akan menimbulkan masalah.
Dengan pengertian lain, mahasiswa yang ‘tidak berpikir’ hanya akan
memenuhi tempat yang semestinya dipersiapkan untuk menghasilkan para
ilmuan yang akan memainkan peranan mereka sebagai hamba Allah dan
khalifah Allah di muka bumi. Akibat yang paling buruk adalah tugas dan
tanggung jawab pendidikan tidak tercapai, sementara para mahasiswa dapat
tamat dan mendapatkan gelar.
Pada saat yang sama, seharusnya para
mahasiswa mengevaluasi diri mereka dan berusaha. Mereka tidak boleh
berdiam diri saja. Karena, para pemuda ini kelak akan menjadi orang
dewasa, akan menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan
permasalahan. Mahasiswa ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan,
mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan permasalahan hidup.
Tantangan dan permasalahan inilah yang akan dihadapi oleh
‘pemikir’(.Tthe Liang Gie, 2003)
Berpikir dalam pendidikan formal
sebagian besar menekankan pada :(1) kemampuan menganalisis, (2)
membelajarkan siswa bagaimana memahami pernyataan, (3) mengikuti dan
menciptakan argumen logis, (4) mengiliminir jalur yang salah dan fokus
pada jalur yang benar (Harris, 1998). Berpikir adalah kegiatan
memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai
kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar.
Dua jenis berpikir dapat dibedakan yakni berpikir kritis dan berpikir
kreatif.